·
CONTOH PROPOSAL PENELITIAN KUALITATIF
oleh
: Saliman (FPIPS IKIP Yogyakarta)
I.
JUDUL PENELITIAN
Kontribusi Dana IDT dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Sidomulyo, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo.
II.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemikiran
awal yang mendasari
studi ini adalah sudah banyak Strategi Pembangunan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah dalam rangka
mengentaskan kemiskinan dan mengurangi
kesenjangan sosial, akan tetapi berbagai laporan menunjukkan kekurangberhasilan strategi tersebut. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada umumnya
strategi tersebut sasarannya adalah
pembangunan fisik sarana dan
prasarana desa dengan tujuan membuka isolasi dan demi memacu mobilitas ekonomi
suatu kawasan, sehingga yang dapat merasakan bantuan tersebut hanya sebagian
kecil masyarakat saja. Sementara masyarakat
kelas marjinal semakin jauh tertinggal.
Sebenarnya
pembangunan desa dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat desa, jikalau pembangunan tersebut memperhatikan potensi desa yang ada
dan mendasarkan pada kebutuhan masyarakat desa. Akan lebih baik
lagi kalau semuanya itu dilaksanakan secara terpadu (integral), seperti diungkapkan oleh Taliziduhu Ndraha sebagai berikut:
“... pembangunan
desa meninggikan taraf penghidupan masyarakat desa dengan jalan melaksanakan
pembangunan yang integral
daripada masyarakat desa, berdasarkan azas kekuatan sendiri daripada masyarakat desa serta azas permufakatan bersama antara anggota-anggota masyarakat
desa dengan bimbingan serta
bantuan alat-alat pemerintah yang bertindak
sebagai suatu keseluruhan (kebulatan) dalam
rangka kebijaksanaan umum yang sama” (1986:3).
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat kita ketahui bahwa keberhasilan pembangunan desa tidak
akan terlepas dari perhatian dan bantuan pemerintah.
Sebenarnya perhatian pemerintah
dalam pembangunan desa sampai saat ini
boleh dikatakan sudah cukup besar. Penegasan pemerintah mengenai hal
ini telah dituangkan dalam ketetapan
MPR Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
yang menyatakan:
Pembangunan
desa dan masyarakat
pedesaan terus didorong melalui peningkatan
koordinasi dan peningkatan pembangunan sektoral,
pengembangan kemampuan sumber daya manusia, pemanfaatan
sumber daya alam dan penumbuhan iklim yang
mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat sehingga mempercepat peningkatan perkembangan desa swadaya dan desa swakarsa menuju
desa swasembada (1998:85-86).
Berbagai strategi pembangunan pedesaan telah ditempuh oleh
Indonesia seiring dengan bergulirnya waktu, tetapi keterbelakangan, kemiskinan dan ketertinggalan masih menjadi teman setia dari sebagian desa di wilayah Indonesia. Melihat kenyataan
ini maka pada awal PJP II, pemerintah
menerapkan strategi pembangunan baru
untuk mengatasi kondisi tersebut di atas. Strategi tersebut adalah “Strategi
pertumbuhan dan sekaligus pemerataan
dan penanggulangan kemiskinan” (growth-cum-poverty alleviation and social equity). Kebijaksanaan ini dilaksanakan dengan
dua acuan yaitu: pertama, kebijaksanaan ekonomi makro yang berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi, sebagai payung dari kebijaksanaan yang kedua, yaitu kebijaksanaan mikro yang akan mewujudkan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan melalui intervensi
langsung (direct attack)
Moeljarto (1996:120)
Kebijaksanaan-kebijaksanaan
tersebut diberlakukan
secara general pada setiap desa baik yang telah mencapai kategori
desa maju maupun yang masih dalam kategori desa terbelakang. Namun ada kebijaksanaan yang benar-benar
diberikan pada desa yang masuk
pada kategori desa terbelakang, yang dalam
hal ini diistilahkan sebagai “Desa Tertinggal”. Untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan pada desa-desa yang masuk
kategori desa tertinggal, pemerintah telah memberikan bantuan yang cukup
besar dalam paket program yang bernama
“Inpres Desa Tertinggal” yang selanjutnya lebih dikenal dengan
IDT. Paket tersebut berupa suntikan dana segar sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) setiap tahunnya untuk
setiap desa selama empat kali, yang pengelolaannya
diserahkan sepenuhnya pada aparat di tingkat desa dengan pengawasan langsung dari
Camat setempat.
Dengan suntikan dana segar yang pemanfaatannya diserahkan
sepenuhnya pada manajemen desa
tersebut, maka Kepala Desa beserta masyarakatnya akan lebih leluasa
dalam membangun desanya. Sehingga secara
logika akselerasi pembangunan akan
segera terwujud dan pada akhirnya akan
mencapai kesejahtaraan seluruh warga
desa. Hal ini berarti pemerataan hasil-hasil pembangunan sesuai dengan amanat GBHN 1998 akan segera terwujud.
B.
Perumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas, selanjutnya rumusan masalah yang akan diteliti adalah:
1.
Adakah latar belakang
budaya yang menyebabkan kemiskinan masyarakat ?
2. Adakah latar belakang tipologi wilayah yang menyebabkan
kemiskinan ?
3.
Mampukah bantuan dana IDT memberdayakan aktivitas ekonomi masyarakat
miskin ?
4. Bagaimana keberhasilan pembangunan pada desa setelah
mendapatkan dana IDT ?
5.
Bagaimana model pemberdayaan ekonomi masyarakat desa tersebut ?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui kemungkinan adanya latar belakang budaya yang menyebabkan kemiskinan.
2.
Untuk mengetahui kemungkinan adanya latar belakang tipologi wilayah yang menyebabkan kemiskinan.
3. Untuk mengetahui
kontribusi dana IDT dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4. Untuk mengetahui keberhasilan pembangunan desa setelah mendapat dana IDT.
5.
Untuk mencari suatu
model pemberdayaan ekonomi masyarakat.
D.
Kegunaan Penelitian
1. Bagi Pemerintah
Sebagai masukan bagi pemerintah
baik di tingkat daerah maupun
di tingkat pusat untuk mengevaluasi
kebijaksanaannya, apakah perlu diteruskan atau diberhentikan sampai di sini.
2. Bagi Peneliti
Untuk memperluas wawasan
tentang strategi pemerintah dalam mengentaskan
kemiskinan, dan sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial PPS IKIP Yogyakarta.
3.
Bagi IKIP Yogyakarta
Untuk menambah koleksi
hasil-hasil penelitian, khususnya yang menyangkut
kebijaksanaan Inpres Desa Tertinggal.
E.
Fokus Penelitian
Fokus awal penelitian ini sebagai
jembatan peneliti menjaring data di lapangan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik dari wilayah desa
Sidomulyo ?
2.
Bagaimana karakteristik
masyarakat miskin desa Sidomulyo, terutama
pola hidup dan aktivitas ekonominya
?
3. Bagaimana pengorganisasian POKMAS IDT ?
4. Bagaimana aktivitas ekonomi POKMAS IDT ?
5.
Bagaimana perkembangan
modal POKMAS IDT ?
6.
Bagaimana perkembangan
modal anggota POKMAS IDT ?
7. Bagaimana peran pendamping desa IDT ?
III.
CARA PENELITIAN
A. Subyek Penelitian.
Untuk menentukan subyek penelitian supaya dapat menjaring informasi yang
memadai agar dapat menemukan suatu model pemberdayaan ekonomi masyarakat, maka semua informasi akan
digali langsung dari anggota POKMAS
IDT, dengan menggunakan metode
Snow Balling. Dengan cara sebagai
berikut: setelah syarat administratif
terpenuhi untuk melakukan penelitian, peneliti akan menghubungi kepala desa sebagai key informant melalui dua orang guru SD setempat yang telah peneliti kenal
baik sebelumnya sebagai guide person. Selanjutnya akan dihubungi perangkat
desa yang mengetahui secara lengkap tentang pelaksanaan IDT, seterusnya para ketua RT yang warganya termasuk anggota POKMAS IDT dan akhirnya POKMAS IDT beserta anggotanya. Perubahan selama ada di lapangan sangat dimungkinkan selaras dengan perkembangan permasalahan yang terjadi.
B.
Setting Penelitian
Untuk memudahkan memasuki setting penelitian, maka
peneliti mula-mula akan berkenalan secara umum melalui forum rembug desa yang telah ada di
desa tersebut melalui
key informant. Selanjutnya
kepada calon subyek penelitian
akan diadakan
pendekatan secara pribadi
melalui Guide person. Setelah kehadiran peneliti
dirasa telah diterima dengan baik, barulah akan memulai mengumpulkan data
yang
diperlukan, tentunya
dengan tetap membina hubungan baik
yang telah terjalin.
C.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam
mengumpulkan data pada penelitian ini adalah: teknik utama digunakan indeph interview, sebagai pendukung
digunakan observasi dan analisis dokumen.
D. Analisis Data
Pola analisis data yang akan
digunakan adalah etnografik, yaitu dari catatan lapangan (field note) kemudian akan dilakukan pengkodean, kategorisasi atau klasifikasi kemudian disusun
secara sistematis dan selanjutnya
akan disusun tema-tema
berdasarkan hasil analisis data tersebut. Sebagai bahan pijakan sekaligus pisau analisis bila perlu digunakan teori-teori yang relevan
dan hasil penelitian terdahulu yang mendukung.
E.
Keabsahan Data
Untuk menghindari kesalahan data yang
akan di analisis, maka keabsahan data perlu diuji dengan beberapa cara sebagai
berikut:
1. Pengumpulan data secara terus menerus
pada subyek penelitian
yang sama.
2. Triangulasi pada sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan, dan bila
perlu
3. Pengecekan oleh subyek penelitian.
Daftar Pustaka
(tidak perlu)
sumber : http://staffnew.uny.ac.id/upload/132049942/penelitian/KUALITA1.pdf
·
CONTOH
PROPOSAL USULAN PENELITIAN KUANTITATIF
Judul:
EKSPERIMENTASI
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENTS (TGT) TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA
DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SEKOLAH DASAR SE KECAMATAN
DEPOK
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kemajuan suatu bangsa sangat
ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia, sedangkan kualitas sumber daya
manusia tergantung pada kualitas pendidikannya. Peran pendidikan sangat penting
untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis. Oleh
karena itu, pembaharuan pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan suatu bangsa. Kemajuan bangsa Indonesia dapat dicapai
melalui penataan pendidikan yang baik, dengan adanya berbagai upaya peningkatan
mutu pendidikan diharapkan dapat menaikkan harkat dan martabat manusia
Indonesia. Untuk mencapainya, pembaharuan pendidikan di Indonesia perlu terus
dilakukan untuk menciptakan dunia pendidikan yang adaptif terhadap perubahan
zaman
Berbagai upaya yang telah ditempuh
untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, antara lain: pembaharuan dalam
kurikulum, pengembangan model Pembelajaran, perubahan sistem penilaian, dan
lain sebagainya. Salah satu unsur yang sering dikaji dalam hubungannya dengan
keaktifan dan hasil belajar siswa adalah model yang digunakan guru dalam
kegiatan pembelajaran di sekolah. Selama ini kegiatan pembelajaran yang
berlangsung di dalam kelas berpusat kepada guru, sehingga siswa cenderung
kurang aktif. Banyak cara yang dapat dilaksanakan agar siswa menjadi aktif,
salah satunya yaitu dengan merubah paradigma pembelajaran. Guru bukan sebagai
pusat pembelajaran, melainkan sebagai pembimbing, motivator, dan fasilitator.
Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, siswalah yang dituntut untuk aktif
sehingga guru tidak merupakan peran utama pembelajaran. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan suatu model pembelajaran yang mampu meningkatkan keaktifan siswa
dalam pembelajaran matematika, sehingga pada akhirnya dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Pemilihan model pembelajaran harus mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam
berpikir logis, kritis, dan kreatif.
Kenyataan yang terjadi hingga saat
ini, hasil belajar matematika siswa masih rendah, baik pada jenjang pendidikan
dasar maupun jenjang menengah. Rendahnya hasil belajar matematika siswa menurut
hasil survei IMSTEP-JICA (Development of
Science And Mathematics Teaching for Primary and Second Education in Indonesia (IMSTEP)
– Japan International Cooperation Agency (JICA))
dikarenakan dalam proses pembelajaran matematika guru umumnya terlalu
berkonsentrasi pada latihan menyelesaikan soal. Dalam kegiatan pembelajaran,
guru biasanya menjelaskan konsep secara informatif, memberikan contoh soal, dan
memberikan soal-soal latihan. Guru merupakan pusat kegiatan, sedangkan siswa
selama kegiatan pembelajaran cenderung pasif. Siswa hanya mendengarkan,
mencatat penjelasan, dan mengerjakan soal. Dengan demikian pengalaman belajar
yang telah mereka miliki tidak berkembang.
Kesulitan pada matematika salah
satunya disebabkan karena pembelajaran matematika kurang bermakna, siswa masih
belum aktif terlibat dalam kegiatan pembelajaran, sehingga pemahaman siswa
tentang konsep matematika sangat lemah. Menurut Rahmah Johar (2003), hal ini
terjadi karena pembelajaran matematika pada saat ini pada umumnya siswa
menerima begitu saja apa yang disampaikan guru. Padahal pada umumnya siswa
telah mengenal ide-ide matematika sejak dini. Siswa memiliki pengalaman
belajar, sehingga siswa mempunyai kemampuan untuk berkembang. Dengan demikian,
pembelajaran di sekolah akan lebih bermakna jika guru mengaitkan pengetahuan
dengan pengalaman yang telah dimiliki siswa.
Berdasarkan pengamatan dilapangan,
diperoleh informasi bahwa matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang
dianggap sulit oleh siswa. Salah satu aspek materi pelajaran matematika di
Kelas 2 Sekolah Dasar yang dianggap sulit oleh siswa adalah aspek
bilangan. Anggapan ini mengakibatkan beberapa siswa
menjadi malas dalam belajar matematika, sehingga beberapa siswa masih enggan
untuk ikut berperan aktif pada saat pembelajaran berlangsung. Keaktifan siswa
dalam pembelajaran merupakan salah satu hal yang penting dalam pembelajaran.
Selama ini model pembelajaran yang sebagian besar digunakan oleh guru di
sekolah dalam mengajar adalah model pembelajaran langsung.
Pada pembelajaran dengan model
pembelajaran langsung, guru merupakan subyek utama kegiatan pembelajaran. Guru
dalam menyampaikan dan menyajikan bahan pelajaran disertai dengan macam-macam
penggunaan metode pembelajaran lain, seperti diskusi, tanya jawab, pemberian
tugas, dan sebagainya. Guru menjelaskan materi yang diajarkan dengan mengunakan
contoh, kemudian siswa diminta untuk menyebutkan kembali dan menerapkan ke soal
yang lain yang sesuai dengan contoh tersebut, guru merupakan subyek utama dalam
proses pembelajaran. Siswa selama kegiatan pembelajaran hanya mendengarkan
semua hal yang dijelaskan oleh guru, mecatat materi yang telah diberikan, dan
mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh guru. Sehingga selama
pembelajaran siswa menerima suatu materi yang sudah jadi, siswa tidak ikut
berfikir dan menggunakan pengalaman belajarnya. Di akhir pembelajaran, hasil
kerja siswa sebatas mengenal operasi hitung bilangan dalam bentuk yang sudah jadi.
Ada beberapa siswa yang kurang
antusias mengikuti pelajaran dikarenakan tidak adanya motivasi belajar dari
diri mereka. Siswa tersebut masih pasif, enggan, takut, dan malu untuk
bertanya. Mereka memilih untuk diam jika ada suatu hal yang belum mereka
mengerti atau pahami dari pada harus bertanya kepada guru yang mengajar.
Menurut seorang siswa, hal ini disebabkan karena mereka tidak berani bertanya
kepada guru, takut salah dan lebih senang bertanya kepada teman. Keaktifan
siswa untuk mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) masih kurang, beberapa siswa
mengatakan alasan mereka tidak mengerjakan PR karena tidak bisa mengerjakan, lupa, malas, dan lain sebagainya. Keadaan tersebut, apabila
didiamkan
akan
menyebabkan siswa semakin mengalami kesulitan dalam mempelajari dan memahami
konsep-konsep berikutnya.
Sebagai upaya meningkatkan hasil
belajar matematika siswa, perlu dikembangkan suatu pembelajaran yang tepat,
sehingga dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk bertukar pendapat,
bekerjasama dengan teman, berinteraksi dengan guru, menggunakan maupun
mengingat kembali konsep yang dipelajari.
Mengingat pentingnya pelajaran
matematika untuk pendidikan, guru diharapkan mampu merencanakan pembelajaran sedemikian
rupa sehingga siswa akan tertarik dengan matematika. Terdapat beberapa model
pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika untuk
meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika antara lain model
pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran portofolio, model
pembelajaran kooperatif, dan model pembelajaran penemuan.
Model pembelajaran tersebut
melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan
peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan. Aktivitas
belajar dirancang sedemikianrupa sehingga memungkinkan siswa dapat belajar
lebih santai, disamping menumbuhkan
tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat, dan keterlibatan belajar. Melalui
belajar kelompok diharapkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika
mengalami peningkatan, sebab siswa bisa ikut berperan aktif dan dapat
memperoleh informasi tambahan dari kelompoknya. Dengan demikian pembelajaran
ini mampu meningkatkan pemahaman siswa tingkat Sekolah Dasar terhadap aspek
materi bilangan. Pada kegiatan belajar, siswa diarahkan pada latihan
menyelesaikan masalah dengan menyelesaikannya sendiri.
Dalam pembelajaran matematika,
seringkali rendahnya motivasi belajar siswa disebabkan karena siswa memiliki
beban belajar yang banyak. Tinggi rendanya motivasi belajar matematika siswa
sering dikaitkan dengan keberhasilan atau kegagalan siswa dalam
berhasil. Siswa yang memiliki motivasi belajar
matematika tinggi dan sedang selalu berusaha menyelesaikan tugas dengan baik,
serta membandingkan hasilnya dengan orang lain. Salah satu faktor yang
mempengaruhi motivasi belajar matematika siswa adalah karakteristik
matapelajaran yang dipelajari. Dalam hal ini dapat diduga bahwa motivasi
belajar siswa terhadap matematika merupakan faktor yang sangat berpengaruh
terhadap perolehan hasil belajar matematika siswa.
Terkait dengan hal di atas, peneliti
mencoba untuk melakukan suatu eksperimentasi pembelajaran matematika dengan
menerapkan model pembelajaran yang melibatkan siswa aktif. Selain model
pembelajaran, prestasi yang diperoleh siswa juga ditinjau dari motivasi
belajarnya.
B.
Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di
atas, dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1.
Rendahnya hasil belajar matematika
siswa mungkin berkaitan dengan motivasi siswa yang sangat rendah. Terkait dengan
ini muncul pertanyaan apakah semakin tinggi motivasi siswa dalam belajar
matematika, semakin tinggi pula hasil belajar matematikanya.
2.
Rendahnya hasil belajar matematika
siswa mungkin berkaitan dengan aktivitas belajar siswa. Terkait dengan ini
muncul pertanyaan apakah semakin tinggi aktivitas siswa dalam belajar
matematika, semakin tinggi pula hasil belajar
matematikanya.
3.
Salah satu faktor yang mungkin juga
menjadi penyebab rendahnya hasil matematika siswa adalah model pembelajaran
yang dilakukan oleh guru. Terkait dengan ini muncul pertanyaan apakah jika guru
menggunakan model pembelajaran yang menyenangkan, mengaitkan matematika
dengan kehidupan sehari-
hari seperti model pembelajaran
berbasis
masalah, portofolio, kooperatif maupun model pembelajaran yang lain, maka hasil
matematika siswa akan lebih baik.
C.
Pemilihan Masalah
Dari indentifikasi masalah di atas,
peneliti hanya akan memilih masalah nomor satu dan tiga, yaitu yang terkait dengan
masalah motivasi belajar serta model pembelajaran matematika.
D.
Pembatasan Masalah
Agar penelitian dapat lebih terarah,
maka permasalahan dibatasi pada eksperimentasi model kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dalam
pembelajaran matematika Tingkat Sekolah Dasar di Kecamatan Depok.
Dalam hal ini peneliti ingin
mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil matematika antara siswa yang diberi
perlakuan dengan menggunakan model model kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dan model pembelajaran langsung,
dengan demikian model pembelajaran merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi hasil matematika siswa. Begitu juga dengan motivasi siswa,
peneliti ingin mengetahui perbedaan hasil matematika siswa. Ditinjau dari tingkat
motivasi, jika ada perbedaan hasil belajar antara siswa yang mempunyai motivasi
tinggi, sedang, dan rendah maka motivasi siswa juga merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa. Disamping itu,
peneliti juga ingin mengetahui apakah ada kekonsistenan antara model
pembelajaran dan tingkat motivasi belajar matematika siswa terhadap hasil
belajar matematika.
E.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, dan pembatasan masalah tersebut di atas, maka masalah
dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah
hasil belajar matematika antara siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan
model kooperatif tipe Teams Games
Tournament (TGT) lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran
dengan model pembelajaran langsung?
2. Apakah
hasil belajar matematika antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi,
lebih baik dari pada siswa yang memiliki motivasi sedang maupun rendah?
3. Apakah
terdapat interaksi antara penerapan model pembelajaran dan tingkat motivasi
belajar siswa terhadap hasil belajar matematika siswa?
F.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang
diutarakan di atas, maka tujuan penelitian ini secara umum yaitu untuk
mendapatkan informasi atau gambaran tentang keefektifan pembelajaran matematika
dengan model kooperatif tipe Teams Games Tournaments
(TGT).
Secara khusus,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Apakah
hasil belajar matematika antara siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan
model kooperatif tipe Teams Games
Tournament (TGT) lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran
dengan model pembelajaran langsung.
2. Apakah
hasil belajar matematika antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi,
lebih baik dari pada siswa yang memiliki motivasi sedang maupun rendah.
3. Apakah
terdapat interaksi antara penerapan model pembelajaran dan tingkat motivasi
belajar siswa terhadap hasil belajar matematika siswa.
G.
Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan sebagai berikut:
1.
Dilihat dari segi
teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
dunia pendidikan khususnya dalam pembelajaran matematika. Adapun kegunaannya
adalah
a.
Memberikan masukkan kepada guru di
sekolah tempat penelitian ini yang dapat digunakan sebagai upaya peningkatan
proses pembelajaran.
b.
Memberikan sumbangan penelitian
dalam bidang pendidikan yang ada kaitannya dengan masalah upaya peningkatan
proses pembelajran.
2.
Diihat dari segi
praktis
Hasil-hasil
penelitian ini juga dapat bermanfaat dari segi praktis, yaitu:
a.
Memberikan informasi atau gambaran
bagi calon guru dan guru matematika dalam menetukan alternatif model
pembelajaran matematika
b.
Memberikan masukkan kepada guru
matematika tentang berbagai kelebihan dan kekurangan dari pembelajaran
menggunakan model kooperatif tipe Teams
Games Tournaments (TGT)
BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Matematika
a.
Pengertian Matematika
Menurut Herman Hudojo (2003: 123)
matematika merupakan suatu ilmu yang berhubungan atau menelaah bentuk-bentuk
atau struktur-struktur yang abstrak dan hubungan- hubungan di antara hal-hal
itu. Untuk dapat memahami struktur-struktur serta hubungan- hubungan, tentu
saja diperlukan pemahaman tentang konsep-konsep yang terdapat di dalam
matematika itu.
James dan James (Suherman dkk, 2003:
18) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk,
susunan, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan
jumlah yang banyak yang terbagi kedalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis,
geometri. Matematika tumbuh dan berkembang karena proses berfikir, oleh karena
itu logika adalah dasar untuk terbentuknya matematika.
Berikut ini beberapa definisi atau
pengertian tentang matematika oleh beberapa pakar yang diungkapkan oleh Robert
E. Reys (1998: 2):
1.
Matematika adalah studi atau kajian tentang pola dan hubungan.
2.
Matematika adalah suatu cara berpikir.
3.
Matematika adalah seni, digolongkan dengan tata
urutan dan kejelasan di dalamnya.
4.
Matematika adalah suatu bahasa,
menggunakan istilah dan simbol tertentu dengan hati- hati.
5.
Matematika adalah suatu alat.
Berdasarkan beberapa pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah suatu ilmu yang berhubungan
tentang konsep-konsep dan struktur-struktur yang abstrak serta hubungan di
antara hal-hal tersebut.
b.
Matematika Sekolah
Menurut Erman Suherman dkk (2003: 55)
matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu
matematika yang diajarkan di pendidikan dasar (SD dan SLTP) dan pendidikan
menengah (SLTA dan SMK). Matematika sekolah terdiri atas bagian- bagian
matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan
membentuk pribadi serta berpandu pada perkembangan IPTEK. Matematika sekolah
tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika yaitu memiliki objek kejadian
yang abstrak serta berpola pikir deduktif konsisten.
Fungsi mata pelajaran matematika
sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan. Siswa diberi pengalaman
menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan suatu
informasi dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari
soal-soal cerita atau soal uraian matematika lainnya. Belajar matematika bagi
para siswa juga merupakan pembentuk pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian
maupun dalam penalaran suatu hubungan antara pengertian-pengertian. Dari ketiga
fungsi tersebut, guru berperan sebagai motivator dan pembimbing siswa dalam
pembelajaran matematika di sekolah.
Dari beberapa pernyataan di atas
dapat disimpulkan matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di
tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah. Dimana dalam belajar matematika,
siswa dapat membentuk pola pikir dalam memahami suatu pengertian maupun
penalaran tentang permasalahan matematika yang dihadapinya. Sedangkan guru
merupakan fasilitator dan motivator mereka.
c.
Matematika Sekolah Dasar
Matematika merupakan ilmu universal
yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam
berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di
bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan
matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan
matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi diperlukan
penguasaan matematika yang kuat sejak dini.
Mata pelajaran Matematika perlu
diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali
peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar
peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan
informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti,
dan kompetitif.
Bahan kajian inti matematika di
Sekolah Dasar (SD) mencakup aritmatika (berhitung), pengantar aljabar,
bilangan, Geometri dan pengukuran, dan Pengolahan data. Penekanan diberikan
pada penguasaaan bilangan termasuk pada berhitung.
Salah satu unsur pokok dalam
pengajaran matematika adalah matematika itu sendiri. Seorang guru matematika
perlu mengetahui dan memahami objek yang akan diajarkan, karena pelajaran
matematika sangat perlu untuk dipahami dan diketahui oleh siswa sejak dini.
Salah satu cara yang dapat digunakan oleh guru untuk membuat siswa memahami dan
mengetahui pelajaran matematika pada siswa adalah dengan mengajarkan obyek langsung
pengajaran matematika pada siswa. Setiap objek langsung pengajaran matematika
tersebut memiliki tingkat kesulitan yang menuntut kemampuan kognitif yang
berbeda, maka
mengajarkan objek langsung dalam pembelajaran matematika
memerlukan strategi mengajar tersendiri yang sesuai dengan objek langsung yang
diajarkan. Hanya dengan memahami fakta, konsep, dan prinsip yang dipelajari
maka siswa akan memiliki keterampilan operasional dalam menyelesaikan
permasalahan matematika.
Dari beberapa peryataan di atas dapat
disimpulkan dasar materi yang diberikan di tingkat sekolah dasar adalah materi
bilangan, yang digunakan sebagai dasar untuk mempelajari materi pelajaran yang
lain. Dalam pembelajarn digunakan sebagai bekal agar siswa memiliki kemampuan memperoleh,
mengelola, dan memanfaatkan informasi sehingga di tingkat berikutnya tidak akan
hilang, bahkan dapat berkembang.
d.
Proses Pembelajaran Matematika
Dalam kegiatan pembelajaran, terjadi
proses belajar sekaligus proses mengajar. Dari proses belajar-mengajar ini akan
diperoleh suatu hasil yang disebut hasil pembelajaran atau hasil belajar.
Menurut Sardiman A.M (1992: 22), belajar merupakan perubahan tingkah laku atau
penampilan dengan serangkaian kegiatan, seperti membaca, mengamati,
mendengarkan, meniru, dan sebagainya. Belajar akan baik jika siswa mengalami
atau melakukannya secara langsung. Dengan demikian belajar adalah proses
perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman.
Dalam konsep sosiologi dalam Erman
Suherman (2003: 8), belajar merupakan jantungnya dari proses sosialisasi,
sedangkan pembelajaran adalah rekayasa sosio-psikologis untuk memelihara
kegiatan belajar sehingga setiap individu yang belajar akan belajar secara
optimal dalam mencapai tingkat kedewasaan dan dapat hidup sebagai anggota
masyarakat yang baik. Sedangkan dalam arti sempit, proses pembelajaran adalah
proses sosialisasi individu siswa dengan lingkungan sekolah, seperti guru,
sumber/ fasilitas, dan teman sesama siswa. Menurut konsep komunikasi,
pembelajaran adalah proses komunikasi fungsional
antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa, dalam
rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi siswa
yang bersangkutan. Dengan demikian, pembelajaran merupakan upaya penataan
lingkungan belajar-mengajar yang memberi suatu nuansa agar program belajar
tumbuh dan berkembang secara optimal.
Peristiwa belajar yang disertai
dengan proses pembelajaran akan lebih terarah dan sistematik dari pada belajar
yang hanya dari pengalaman dalam kehidupan sosial di masyarakat. Dalam proses
pembelajaran, selain kegiatan belajar ada kegiatan lain yaitu mengajar, dimana
dapat dikatakan mengajar jika ada subyek yang diberi pelajaran (siswa) dan ada
subyek yang mengajar yaitu pengajar atau guru.
Belajar bukan merupakan suatu tujuan,
tetapi merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan. Jadi merupakan suatu
langkah-langkah atau prosedur yang ditempuh. Dalam usaha pencapaian tujuan
belajar tersebut, perlu diciptakan adanya sistem lingkungan (kondisi) belajar
yang kondusif. Masing-masing sistem lingkungan diperuntukkan tujuan- tujuan
belajar yang berbeda. Dengan kata lain, untuk mencapai tujuan belajar tertentu
harus diciptakan sistem lingkungan belajar yang tertentu pula.
Apabila terjadinya proses mengajar
dan belajar matematika baik, maka hasil belajar siswa akan baik pula.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya proses mengajar dan belajar matematika
adalah siswa, guru atau pendidik, sarana dan prasarana, serta penilaian.
Keempat faktor tersebut digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Faktor –faktor terjadinya proses pembelajaran
Dari beberapa teori di atas dapat
disimpulkan bahwa belajar adalah suatu aktivitas siswa yang dilakukan untuk
menguasai pengetahuan, kebiasaan, ketrampilan, dan sikap yang berlangsung dalam
interaksi aktif dengan lingkungan.
e.
Karakteristik Siswa Sekolah Dasar
Menurut Nasution dalam Syaiful Bahri
Djamarah (2002: 89) masa usia Sekolah Dasar sebagai masa kanak-kanak akhir yang
berlangsung dari usia empat tahun hingga kira- kira sebelas atau dua belas
tahun. Para guru mengenal masa ini sebagai masa sekolah, yaitu masa matang
untuk belajar maupun masa matang untuk sekolah. Siswa berusaha untuk mencapai
sesuatu tetapi perkembangan aktivitas bermain hanya bertujuan untuk mendapatkan
kesenangan pada waktu melakukan aktivitasnya itu sendiri dan siswa sudah
mengiginkan kecakapan–kecakapan baru yang dapat diberikan oleh sekolah.
Masa usia sekolah menurut
Suryosubroto dalam Syaiful Bahri Djamarah (2002: 90) sebagai masa intelektual
bersekolah. Pada masa ini secara relatif anak-anak lebih mudah
dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini
menurut Suryosubroto diperinci menjadi dua fase, yaitu masa kelas rendah
sekolah dasar (6-9 tahun) dan masa kelas tinggi sekolah dasar (10-13 tahun).
Beberapa sifat
khas anak pada masa kelas rendah sekolah dasar yaitu :
1)
Adanya korelasi positif yang tinggi
antara keadaan kesehatan pertumbuhan jasmani dengan hasil sekolah.
2)
Adanya sikap yang cenderung untuk
mematuhi peraturan-peraturan permainan yang tradisional
3)
Ada kecenderungan memuji sendiri
4)
Suka membanding-bandingkan dirinya
dengan siswa lain kalau hal itu dirasanya menguntungkan untuk meremehkan siswa lain
5)
Kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka
soal dianggapnya tidak penting
6)
Siswa menghendaki nilai raport yang
baik, tanpa mengingat apakah hasilnya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
Sedangkan
sifat khas anak pada masa kelas tinggi sekolah dasar yaitu :
1)
Adanya minat terhadap kehidupan
praktis sehari-hari yang konkret, yang menimbulkan adanya kecenderungan untuk
membandingkan pekerjaan-pekerjaan praktis
2) Amat kooperatif,
ingin tahu, dan ingin belajar
3) Menjelang akhir
masa, telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus
4) Sampai usia 11
siswa membutuhkan guru atau orang dewasa lainya
5) Pada masa ini
gemar membentuk kelompok sebaya
Melihat sifat-sifat khas tersebut,
usia siswa antara 7 sampai 12 tahun oleh para ahli dimasukkan ke dalam tahap
perkembangan intelektual. Dalam tahap ini, perkembangan intelektual siswa
dimulai ketika sudah dapat berfikir atau mencapai hubungan antar kesan secara
logis serta membuat keputusan tentang apa yang dihubung-hubungkan secara logis.
Menurut Piaget yang dikutip C. Asri
Budiningsih (2005: 36) proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan
tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Piaget membagi tahap-tahap
perkembangan kognitif ini menjadi empat, yaitu:
1)
Tahap sensorimotor (umur 0 - 2 tahun)
Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan dan
dilakukan langkah demi langkah.
2)
Tahap preoperasional ( umur 2 – 7 atau 8 tahun)
Ciri pokok perkembangannya adalah pada penggunaan symbol
atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif.
3)
Tahap operasional konkret ( umur 7 atau 8 tahun – 11
atau 12 tahun )
Ciri pokok perkembangannya adalah anak sudah mulai
menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak telah memiliki kecakapan
berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkret.
Anak usia 7-12 tahun masih memiliki masalah mengenai berpikir abstrak.
4)
Tahap operasional (umur 11 atau 12 tahun – 18 tahun )
Ciri pokok perkembangannnya adalah anak sudah mampu
berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir .
Dari beberapa teori di atas dapat
disimpulkan bahwa masa intelektual siswa kelas dua Sekolah Dasar terletak pada
masa kelas rendah sekolah dasar atau tahap operasional konkret, dimana siswa
cenderung untuk mematuhi peraturan-peraturan yang ada, memuji sendiri,
membanding-bandingkan dirinya dengan siswa lain, menghendaki nilai hasil
belajar yang baik. Siswa telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi
hanya tercapai dengan memnafaatkan benda-benda yang bersifat konkret atau
nyata.
2.
Pembelajaran Kooperatif
a. Pengertian
Kerja kelompok merupakan salah satu
strategi untuk mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar, karena strategi ini
banyak memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja bersama memecahkan masalah
untuk mencapai tujuan. Diharapkan siswa semakin menyukai pelajaran matematika.
Keaktifan siswa untuk bertanya kepada guru, menjawab pertanyaan guru, serta
menuliskan jawaban di papan tulis atas inisiatif sendiri, dan bekerja sama
dalam kelompok diharapkan bertambah sehingga dapat meningkatkan keaktifan
pembelajaran pada umumnya (Rachmadi Widdiharto, 2004: 14).
Pada pembelajaran matematika di
kelas, belajar matematika dengan kerja kelompok merupakan kelompok kerja yang
kooperatif lebih dari kompetitif, meskipun pada suatu keadaan khusus hal
tersebut dapat terjadi. Pada kegiatan ini sekelompok siswa belajar dengan porsi
utama adalah mendiskusikan tugas-tugas matematika yang diberikan gurunya,
saling membantu menyelesaikan tugas atau memecahkan masalah (Al Krismanto,
2003: 14).
Pembelajaran kooperatif menekankan
pada kehadiran teman sebaya yang berinteraksi antar sesamanya sebagai sebuah
teman dalam menyelesaikan suatu masalah. Menurut Arends(2004: 356), model
pembelajaran kooperatif mempunyai ciri-ciri:
b.
siswa bekerja dalam kelompok dengan bekerjasama
untuk menyelesaikan materi belajar.
c.
kelompok dibentuk dari siswa yang
mempunyai kemampuan akademis tinggi, sedang dan rendah, serta berasal dari ras,
budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda.
d.
penghargaan lebih berorientasi pada kelompok
daripara individu.
Menurut Moh Uzer Usman (2000: 103)
dengan pengajaran kelompok kecil, memungkinkan siswa belajar lebih aktif,
memberi rasa tanggung jawab yang lebih besar, berkembangnya dengan kreatif dan
sifat kepemimpinan pada siswa, serta dapat memenuhi kebutuhan pada siswa secara
optimal.
Menurut Robert E. Slavin (1991) yang
dikutip oleh Rachmadi Widdiharto (2004: 15) belajar kooperatif, siswa bekerja
dalam kelompok dan saling membantu untuk menguasai bahan ajar. Lowe (1989) yang
dikutip oleh Rachmadi Widdiharto (2004: 15) menyatakan bahwa belajar kooperatif
secara nyata semakin meningkatkan pengembangan sikap sosial dan belajar dari
teman sekelompoknya dalam berbagai sikap positif. Keduanya memberikan gambaran
bahwa belajar kooperatif meningkatkan sikap sosial yang positif dan kemampuan
kognitif yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dimana
siswa saling bekerjasama dalam kelompok dan saling membantu dalam memahami
materi pelajaran. Dengan pembelajaran kooperatif memungkinkan siswa belajar
lebih aktif, serta dapat memenuhi kebutuhan siswa secrara optimal guna
pencapaian tujuan belajar. Dalam hal ini siswa bekerjasama dan belajar dalam
kelompok serta bertanggung jawab pula terhadap kegiatan belajar siswa lain
dalam kelompoknya.
b. Ciri-ciri
Pembelajaran Kooperatif
Menurut Arends (2004:356), model
pembelajaran kooperatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Siswa bekerja
dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan materi belajar.
b.
Kelompok dibentuk dari siswa yang
mempunyai kemampuan akademis tinggi, sedang, dan rendah serta berasal dari ras,
budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda.
c. Penghargaan lebih
berorientasi pada kelompok daripada individu.
Tiga konsep sentral yang menjadi
karakteristik pembelajaran kooperatif sebagaimana dikemukakan oleh Robert E.
Slavin (1995), yaitu penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, dan
kesempatan yang sama untuk berhasil.
a. Penghargaan kelompok
Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan
kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh
jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan
kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam
menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu, dan
saling peduli.
b. Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran
individu dari semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut
menitikberatkan pada aktifitas anggota kelompok yang saling membantu dalam
belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap
anggota siap untuk mernghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa
bantuan teman sekelompoknya.
c. Kesempatan yang
sama untuk mencapai keberhasilan
Pembelajaran kooperatif menggunakan model skoring yang
mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan hasil yang diperoleh siswa
yang terdahulu. Setiap siswa baik yang berhasil rendah, sedang, atau tinggi
sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi
kelompoknya dengan menggunakan model skoring
itu.
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif terdiri dari tiga konsep yang
utama yaitu penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, dan kesempatan
yang sama untuk mencapai keberhasilan.
c.
Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan pembelajaran kooperatif
berbeda dengan kelompok tradisional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana
keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan
orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran koopertif
adalah menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau
dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Robert E. Slavin,1995: 35).
Menurut Muslimin Ibrahim, dkk (2000:
7), model pembelajaran kooperatif paling tidak mempunyai tiga tujuan penting
yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan
ketrampilan kooperatif. Tujuan pertama adalah meningkatkan hasil belajar
akademik dimana siswa dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik.
Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami
konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model
struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada
belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar,
pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah
maupun kelompok atas. Tujuan kedua, pembelajaran kooperatif memberi peluang
pada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung
satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur
penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain. Tujuan ketiga
dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan siswa ketrampilan kerjasama dan kolaborasi.
Ketrampilan ini sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, dimana mereka
saling melakukan kerjasama dalam organisasi dan saling melakukan kerjasama satu
sama lain kondisi kebudayaan yang beranekaragam.
Dari peryataan di atas, dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari penerapan model pembelajaran kooperatif mempunyai
tiga tujuan penting, yaitu: hasil belajar akademik, penerimaan terhadap
keberagaman, pengembangan keterampilan kooperatif atau bekerjasama.
Keberhasilan dari individu sangat ditentukan oleh keberhasilan kelompok.
d.
Langkah-langkah pembelajaran Kooperatif
Menurut Muslimin Ibrahim, dkk
(2000:10), langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif
adalah sebagai berikut:
Tabel 1.
Sintaks Pembelajaran Kooperatif
Fase
|
Fase
|
Aktivitas Guru
|
1
|
Fase 1:
Menyampaikan
tujuan dan memotivasi siswa
|
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada
pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa.
|
2
|
Fase 2:
Menyajikan informasi
|
Guru menyajikan informasi kepada siswa
dengan jalan
demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
|
3
|
Fase 3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompk-
kelompok belajar
|
Guru menjelasakan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok
belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan
transisi efisien.
|
4
|
Fase 4:
Membimbing
kelompok bekerja dan belajar
|
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan
tugas.
|
5
|
Fase 5: Evaluasi
|
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari
atau masing- masing kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya.
|
6
|
Fase 6:
Memberikan penghargaan
|
Guru mencari cara untuk menghargai upaya
atau hasil
belajar siswa baik individu maupun kelompok.
|
Terdapat enam fase utama dalam
pembelajaran kooperatif menurut Arends (1997) seperti dikutip www.damandiri.or.id/file/yusufunsbab2.pdf.
Pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan
tujuan-tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini
diikuti dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal.
Kemudian dilanjutkan langkah-langkah dimana siswa di bawah bimbingan guru
bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung.
Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir
kelompok atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dilanjutkan
penghargaan terhadap kelompok dan usaha-usaha
individu.
e.
Teams Games Tournaments (TGT)
Menurut Rachmadi Widdiharto (2004:
16) beberapa jenis kegiatan kelompok yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara
lain sebagai berikut :
1)
Circle
Learning/Learning Together (Belajar bersama)
2)
Investigation
Group (Grup penyelidikan)
3)
Co-op co-op
4)
Jigsaw
5)
Numbered Heads
Together (NHT)
6)
Student
Teams-Achievment Division (STAD)
7)
Team
Assited-Individualization atau Team Accelerated Instruction (TAI)
8)
Teams
Games-Tournaments (TGT)
Tujuan dari penerapan model
pembelajaran kooperatif menurut Muslimin Ibrahim, dkk (2000: 7) paling tidak
mempunyai tiga tujuan penting, yaitu: hasil belajar akademik, penerimaan
terhadap keberagaman, pengembangan keterampilan kooperatif.
Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa, pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dimana
siswa saling bekerjasama dalam kelompok dan saling membantu dalam memahami
materi pelajaran. Dengan pembelajaran kooperatif memungkinkan siswa belajar
lebih aktif, serta dapat memenuhi kebutuhan siswa secrara optimal guna
pencapaian tujuan belajar. Dalam hal ini siswa bekerjasama dan belajar dalam
kelompok serta bertanggung jawab pula terhadap kegiatan belajar siswa lain
dalam kelompoknya.
Pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) adalah
salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan,
melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan
peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan penguatan/ reinforcement. TGT merupakan tipe
pembelajaran
kooperatif yang menggabungkan kegiatan belajar kelompok dengan kompetisi
kelompok.
Aktivitas belajar dengan permainan
yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat
belajar lebih rileks disamping
menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan
belajar.
Ada 5 komponen
utama model pembelajaran dalam TGT, yaitu:
1)
Class-Presentation
(Penyajian/presentasi kelas)
Pada awal pembelajaran, guru menyampaikan materi dalam
penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pembelajaran langsung, diskusi yang
dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar
memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu
siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game, karena
skor game akan menentukan skor kelompok.
2)
Team (Kelompok)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 6 orang siswa
yang anggotanya heterogen dilihat dari hasil akademik, jenis kelamin dan ras
atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman
kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja
dengan baik dan optimal pada saat game dan
turnamen. Pada tahap ini siswa belajar bersama dengan anggota kelompoknya untuk
menyelesaikan tugas dan soal yang diberikan. Siswa diberikan kebebasan untuk
belajar bersama dan saling membantu dengan teman dalam kelompok untuk mendalami
materi pelajaran. Selama belajar kelompok, guru berperan sebagai fasilitator
dengan mengarahkan siswa yang mengalami kesulitan dalam penyelesaian tugas,
serta memandu berfungsinya kelompok belajar.
3)
Game (permainan)
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji
pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok.
Kebanyakan game terdiri dari
pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor yang
memuat satu pertanyaan, kemudian kelompok yang berperan sebagai pemain mencoba
menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Kelompok lain diperbolehkan
merebut pertanyaan yang tidak dapat dijawab atau jawabannya salah. Siswa yang
menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya
dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.
4)
Tournament (pertandingan/kompetisi)
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada
setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah
mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa
meja turnamen. Siswa masing-masing kelompok dari tingkat akademik tertinggi
sampai tingkat terendah dikelompokkan bersama siswa dari kelompok lain yang
mempunyai tingkat akademik sama untuk membentuk satu kelompok turnamen yang
homogen. Siswa dari masing-masing kelompok bertanding untuk menyumbangkan poin
tertinggi bagi kelompoknya. Dalam turnamen ini, siswa yang memiliki kemampuan
akademik sedang atau rendah dapat menjadi siswa yang mendapat poin tertinggi
dalam kelompok turnamennya. Poin dari perolehan setiap anggota kelompok
diakumulasikan dalam poin kelompok.
Berikut bagan pelaksaan turnamen
dalam TGT:
Gambar 2. Bagan Penempatan peserta turnamen (Robert E. Slavin, 1995: 86)
5)
Team-recognize (penghargaan-kelompok)
Dalam pembelajaran kooperatif, penghargaan diberikan
untuk kelompok bukan individu, sehingga keberhasilan kelompok ditentukan oleh
keberhasilan setiap anggotanya. Penghargaan kelompok diberikan atas dasar
rata-rata poin kelompok yang diperoleh dari game
dan turnamen dengan kriteria yang telah ditentukan, sebagai berikut:
Tabel 2. Kriteria Penghargaan Kelompok
Rata-rata poin kelompok
|
Penghargaan Kelompok
|
40
|
Kelompok Baik(Good Team)
|
45
|
Kelompok Hebat(Great Team)
|
50
|
Kelompok Super (Super Team)
|
Sumber: Robert E. Slavin (1995: 90)
Guru kemudian mengumumkan kelompok
yang menang, masing-masing tim akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila
rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan sesuai
poin yang diperoleh.
Persiapan yang dilakukan dalam
pembelajaran yaitu meliputi persiapan materi, penetapan siswa dalam tim, dan
penetapan siswa dalam meja turnamen. Uraian dari masing- masing kegiatan adalah
sebagai berikut:
1)
Persiapan materi
Materi pelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga
dapat disajikan dalam kelompok dan dalam turnamen. Bentuk rancangan tersebut
dapat dikemas dalam suatu perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana
pembelajaran (RP), materi pengajaran, lembar kegiatan siswa (LKS), kelengkapan
turnamen yang akan digunakan dalam turnamen akademik dan tes hasil belajar yang
diujikan pada akhir pembelajaran selesai.
2)
Penetapan siswa dalam tim
Setiap tim beranggotakan 4 sampai 6 siswa yang terdiri
dari siswa pandai, sedang, dan kurang. Petunjuk yang dapat digunakan untuk
menetapkan anggota tim adalah sebagai berikut:
a) Merangking siswa
Setelah daftar dalam kelas diperoleh dicari informasi
tentang kemampuan siswa dari skor rata-rata nilai siswa pada tes-tes sebelumnya
atau raport. Siswa diurutkan dengan ranking dari yang berkemampuan tinggi ke
kemampuan rendah.
b) Menentukan banyak tim
Masing-masing tim beranggotakan 4 sampai 6 siswa.
Pedoman yang digunakan dalam menentukan banyaknya tim adalah memperhatikan
banyaknya anggota setiap tim dan banyaknya siswa dalam kelas.
c)
Penyusunan anggota tim
Penyusunan anggota tim berdasarkan daftar siswa yang
sudah diranking. Penyebaran siswa pada tiap-tiap tim juga memperhatikan jenis
kelamin dan kinerja siswa. Dengan demikian keseimbangan antara tim dapat
tercapai.
3)
Penetapan siswa dalam turnamen
Dalam satu meja turnamen terdiri dari 3 atau 4 siswa
yang bermain atau berkompetisi dengan kemampuan seimbang atau setara sebagai
wakil dari tim yang berbeda. Dalam menetapkan banyak anggota setiap meja
turnamen sebaiknya memperhatikan banyaknya tim yang terbentuk.
Langkah
–langkah dalam pembelajaran kooperatif TGT mengikuti siklus berikut:
1)
Pemberian materi pelajaran
Pada langkah ini diperlukan beberapa perangkat
pembelajaran, yaitu materi pelajaran, dan Lembar Kerja Siswa.
Kegiatan pokok dalam langkah ini adalah mempresentasikan
pelajaran di kelas dengan memberikan diskusi materi pelajaran. Presentasi
pelajaran dibuka dengan memanfaatkan media belajar yang cocok dengan materi
yang akan dipelajari. Guru menanyakan secara aktif konsep-konsep secara visual
atau dengan memanipulasi contoh. Mengevaluasi pemahaman siswa dengan memberikan
pertanyaan secara acak dan melanjutkan ke konsep berikutnya setelah siswa
menangkap ide utama.
2)
Belajar kelompok
Pada langkah ini diperlukan beberapa perangkat
pembelajaran yaitu buku paket siswa, lembar LKS
Selama belajar kelompok, siswa berada dalam tim, tugas
anggota tim yaitu menguasai materi yang diberikan guru dan membantu teman satu
tim untuk menguasai materi tersebut. Disamping itu, guru memberikan aturan
dasar yang berkaitan dengan bagian bekerja sama dalam tim.
3)
Turnamen akademik
Dalam langkah ini diperlukan perangkat pembelajaran,
yaitu lembar pertanyaan bernomor, lembar kunci jawaban bernomor, satu set kartu
bernomor, lembar pencatat skor.
Kompetisi
pada meja turnamen dari 3 atau 4 anggota tim yang berkemampuan seimbang. Nomor
meja turnamen diganti dengan nama atau huruf agar siswa tidak tahu mana meja
yang tinggi dan yang rendah. Bagan dari permainan dengan tiga orang dalam satu
meja turnamen adalah sebagai berikut:
Gambar. Bagan permainan dengan tiga orang pemain dalam satu meja
Jika setiap siswa telah menjawab, menantang atau lewat
penantang sebelah kanan pembaca, memcocokan jawabn pada kunci yang sesuai dan
mebaca dengan keras. Pemain yang menjawab
benar dapat menyimpan
kartu tersebut. Jika salah, maka
mendapat hukuman untuk mengembalikan kartu yang
dimenangkan pada paknya. Jika tidak ada yang menjawab benar, maka kartu
dikembalikan pada pak.
4)
Pemindahan
Untuk babak berikutnya semuanya pindah posisi ke kiri.
Permainan berlangsung terus hingga waktu habis atau kartunya habis. Ketika
permainan berakhir, pemain mencatat jumlah kartu yang dimenangkan pada lembar
pencatat skor.
3. Pembelajaran Langsung
a.
Pengertian
Model Pembelajaran langsung
merupakan pembelajaran yang biasa dilakukan oeh guru di sekolah. Proses
pembelajaran matematika yang berlangsung saat ini di sekolah biasanya dimulai
dari teori kemudian diberikan contoh soal dan dilanjutkan dengan latihan soal.
Didalam pembelajaran matematika di sekolah saat ini, masalah-masalah yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari hanya digunakan sebagai aplikasi dari
teori-teori yang sudah diberikan. Dengan kata lain sebagai penerapan dari teori
yang diajarkan. Hal tersebut terlihat dari pemunculan soal cerita pada akhir
pokok bahasan suatu topik.
Mengajar yang bersifat langsung
lebih menekankan pada penyampaian pengetahuan kepada siswa sehingga kegiatan
pembelajaran lebih berpusat pada guru. Selama kegiatan pembelajaran, guru
cenderung lebih mendominasi kegiatan pembelajaran, dan hampir tidak ada
interaksi antar siswa. Kebanyakan aktivitas siswa hanya mendengarkan dan
menulis. Hanya sedikit siswa yang mengajukan pertanyaan kepada guru.
Disamping
kelemahan, kelebihan yang dimiliki dari pembelajaran langsung adalah:
1)
Dapat menampung kelas yang besar,
dan setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk mendengarkan penjelasan
dari guru
2)
Kemampuan masing-masing siswa
kurang mendapatkan perhatian sehingga isi dari silabus dapat mudah diselesaikan
3)
Bahan pelajaran dapat diberikan secara urut sesuai kurikulum.
b.
Langkah- langkah Pembelajaran Langsung
Dalam pembelajaran langsung langkah-langkah proses
pembelajaran yang terjadi adalah sebagai berikut:
1)
Kegiatan yang dilakukan guru
a) Menyampaikan
tujuan pembelajaran
b) Mendemonstrasikan
pengetahuan atau keterampilan
c) Membimbing
mengerjakan latihan
d) Mengecek
pemahaman siswa dan pemberian umpan balik
e) Memberi
kesempatan siswa untuk berlatih lagi
2)
Tahapan kegiatan
pembelajaran
a) Kegiatan awal :
guru menyampaikan apersepsi
b)
Tahap pengembangan : guru
menjelaskan konsep, menyelesaikan contoh soal, siswa menyimak dan mencatat
c) Tahap penerapan 1
: guru memberikan soal latihan dan membimbing
siswa
d) Tahap penerapan 2
: guru membahas soal latihan
e) Kegiatan penutup
: guru memberikan tugas pekerjaan rumah ( jika
diperlukan)
Secara
umum, tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran langsung adalah
sebagai berikut:
Tabel 3. Sintaks
Pembelajaran Langsung
Fase
|
Aktivitas Guru
|
|
1
|
Fase 1:
Menyampaikan tujuan dan
mempersiapkan siswa
|
Guru menjelaskan tujuan, materi prasyarat,
memotivasi siswa akan pentingnya pelajaran, dan
mempersiapkan siswa untuk
belajar.
|
2
|
Fase 2:
Mendemonstrasikan
pengetahuan dan ketrampilan
|
Mendemonstrasikan ketrampilan atau menyajikan
informasi tahap demi tahap
|
3
|
Fase 3:
Membimbing pelatihan
|
Guru memberikan latihan
terbimbing
|
4
|
Fase 4:
Mengecek
pemahaman dan memberikan umpan balik
|
Mengecek kemampuan siswa dan memberikan umpan balik
|
5
|
Fase 5:
Memberikan latihan dan
penerapan konsep
|
Mempersiapkan latihan untuk siswa dengan menerapkan konsep
yang dipelajari pada
kehidupan sehari-hari.
|
4. Motivasi
Pada dasarnya motivasi merupakan
suatu kekuatan yang dapat mendorong seseorang melakukan kegiatan untuk mencapai
tujuan. Motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan,
mengarahkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdoroong untuk bertindak
melakukan sesuatu sehingga dapat mencapai tujuan. Motivasi belajar juga berarti
sebagai keseluruhan daya penggerak, pendorong, dari dalam diri siswa yang
menimbulkan kegiatan belajar, yang diwujudkan dalam bentuk adanya kebutuhan,
dorongan dan usaha siswa dalam melakukan aktivitas guna mencapai tujuan.
Menurut Oemar Hamalik (2005: 158)
ada dua prinsip yang dapat digunakan untuk meninjau motivasi, yaitu (1)
motivasi dipandang sebagai suatu proses. Pengetahuan tentang proses akan
membantu menjelaskan kelakuan yang diamati dan untuk memperkirakan kelakuan –
kelakuan lain pada seseorang, (2) menentukan karakter dari proses dengan melihat petunjuk-petunjuk dari tingkah laku.
Menurut Mc. Donald (dalam Oemar Hamalik, 2005: 158) motivation is energy change within the
person characterized by affective arousal and anticipatory goal reaction.
Motivasi adalah perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai
dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan.
Komponen utama motivasi ada tiga
yaitu kebutuhan, dorongan, dan tujuan. Kebutuhan muncul apabila terjadi tidak
seimbangnya antara yang dimiliki dengan yang diharapkan. Dorongan merupakan
kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan atau pancapaian
tujuan. Tujuan dalam hal ini adalah sebagai pemberi arahan pada perilaku
manusia termasuk di dalamnya perilaku membaca
pemahaman.
Motivasi mendorong timbulnya
kelakuan dan mempengaruhi serta mengubah kelakuan. Fungsi motivasi meliputi:
a. Mendorong
timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan. Tanpa motivasi maka tidak akan timbul
suatu perbuatan seperti belajar.
b. Motivasi
berfungsi sebagai pengarah. Artinya mengarahkan perbuatan kepencapaian tujuan
yang diinginkan
c. Motivasi
berfungsi sebagai penggerak. Besar kecilnya motivasi akan menentukan besar
kecilnya hasil suatu pekerjaan.
Dalam kegiatan pembelajaran, menurut
Oemar Hamalik (2005: 161) motivasi mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
a.
Motivasi menentukan tingkat
keberhasilan perbuatan belajar murid. Tanpa adanya motivasi untuk belajar
kiranya sulit untuk berhasil
b.
Pembelajaran yang bermotivasi pada
hakekatnya adalah pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan, dorongan,
motif, minat yang ada pada murid.
c.
Pembelajaran yang bermotivasi
menuntut kreativitas dan imajinasi guru untu berusaha secara sungguh-sungguh
mencari cara-cara yang relevan dan sesuai guna membangkitkan dan memelihara
motivasi belajar siswa.
d.
Berhasil atau gagalnya dalam
menggunakan motivasi dalam pembelajaran erat pertaliannya dengan pengaturan
disiplin kelas.
e.
Penggunaan motivasi dalam mengajar
buku saja melengkapi prosedur mengajar, tetapi juga menjadi faktor yang
menentukan pengajaran yang efektif.
Dilihat dari sifatnya, motivasi dapat
dibedakan menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik (J. Gino, dkk,
1996: 113). Motivasi instrinsik adalah tindakan yang digerakkan oleh suatu
sebab yang datang dari dalam individu yang menjadi aktif karena dari dalam diri
setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Motif intrinsik
dapat dikatakan sebagai bentuk motivasi yang didalamnya aktivitas belajar
dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari dalam diri dan secara mutlak
berkaitan dengan aktivitas belajarnya. Siswa yang memiliki motivasi instrinsik
akan memiliki tujuan menjadi orang yang
terdidik, yang berpengetahuan, atau ahli dalam bidang tertentu. Sedangkan
motivasi Ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena ada perangsang
dari luar. Untuk itu motif ekstrinsik dikatakan sebagai bentuk motivasi, yang
didalamnya ada aktivitas belajar yang dimulai dan diteruskan berdasarkan
dorongan dari luar yang tidak secara mutlak beraitan dengan kegiatan belajar
itu sendiri.
Dari beberapa pendapat di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk
menggerakkan, mengarahkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdoroong
untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga dapat mencapai tujuan. Motivasi
terbagi menjadi motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik, motivasi
instriksik datang dari dalam diri sendiri sedangkan motivasi ekstrinsik ada
karena terdapat rangsangan dari luar.
5. Hasil Belajar Siswa
Menurut Sri Rumini, dkk (1995: 61)
hasil belajar siswa merupakan kapasitas manusia yang nampak dalam tingkah laku.
Tingkah laku yang dimaksud adalah tingkah laku siswa yang ditampilkan yang
berkaitan dengan hasil belajar dengan memberikan gambaran yang lebih nyata, hal
ini tentunya berkaitan dengan hasil dan proses belajar di sekolah. Sedangkan
menurut Nana Sudjana (2006: 22) hasil belajar siswa adalah kemampuan yang
dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajar.
Menurut Bloom yang dikutip oleh Sri
Rumini (1995: 47) hasil belajar siswa dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek kognitif secara garis besar dapat
dijabarkan sebagai berikut :
a.
Mengetahui, yaitu mengenali kembali
hal-hal umum dan khas, mengenali kembali model dan proses, mengenali kembali
pula struktur dan perangkat
b.
Mengerti, dapat diartikan sebagai memahami
c.
Mengaplikasikan, merupakan
kemampuan menggunakan abstraksi di dalam situasi-situasi konkrit
d.
Menganalisis, adalah menjabarkan sesuatu ke dalam
unsur-unsur, bagian-bagian.
e.
Mensintesiskan, merupakan kemampuan untuk menyatakan
unsur-unsur, bagian-bagian
f.
Mengevaluasi, merupakan kemampuan
untuk menetapkan nilai, harga dari suatu bahan dan model komunikasi untuk
tujuan-tujuan tertentu.
Faktor afektif (budi pekerti) secara
garis besar meliputi: menerima, atau memperhatikan, merespon (mereaksi
perangsang atau gejala tertentu), menghargai (bahwa suatu hal, gejala atau
tingkah laku mempunyai harga atau nilai tertentu), mengorganisasikan nilai, dan
bersifat. Sedangkan faktor psikomotor meliputi: mengindera, menyiagakan diri,
bertindak secara terpimpin, bertindak secara mekanik, bertindak secara
kompleks.
Menut Sri Rumini, dkk (1995: 61)
hasil belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari
individu yang sedang belajar, dan faktor yang berasal dari luar diri individu.
Faktor yang terdapat di dalam individu dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu
faktor psikis dan faktor fisik. Faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar
adalah faktor yang berasal dari luar individu dan faktor yang berasal dari
dalam individu. Salah satu faktor yang berasal dari luar individu adalah guru
dalam mengelola pembelajaran di kelas seperti penggunaan model pembelajaran
yang sesuai dengan materi yang akan dibahas, serta dengan mempertimbangkan
konsep perkembangan jiwa peserta didik.
Menurut Slameto (2001: 30), tes
hasil belajar merupakan sekelompok pertanyaan atau tugas-tugas yang harus
dijawab atau diselesaikan oleh siswa dengan tujuan untuk mengukur kemajuan
belajar siswa. Hasil tes ini berupa data kuantitatif.
Dari beberapa pengertian di atas,
dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa merupakan kemampuan yang dimiliki
siswa setelah menerima pengalaman belajar. Hasil belajar siswa dapat
ditampilkan dari tingkah laku dengan memberikan gambaran yang lebih nyata yang
bertujuan untuk mengukur kemajuan belajar siswa. Hasil tes belajar siswa berupa
data kuantitatif.
B.
Penelitian Yang Relevan
Beberpa hasil
penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah :
a.
Hasil penelitian Gregoria
Ariyanti (2007) mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran
kooperatif menunjukkan bahwa siswa lebih aktif dan kreatif, kemampuan siswa
dalam memahami soal. Terdapat pengaruh tingkat kemampuan awal siswa terhadap
kemampuan siswa memecahkan masalah matematika dan terdapat interaksi pengaruh
model pembelajaran kooperatif dan tingkat kemampuan
awal siswa terhadap
kemampuan siswa
memecahkan masalah matematika. Siswa dengan model kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) lebih
mampu memecahkan masalah matematika.
b.
Hasil penelitian Yully (2008)
menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam mata diklat instalasi
listrik penerangan menggunakan multimedia di SMK Negeri 3 Yogyakarta lebih efektif dari pada dengan
menggunakan model pembelajaran langsung. Hal tersebut dikarenakan dengan cara
belajar kooperatif baik secara kelompok maupun individu, siswa termotivasi dan
bekerjasama dalam mengerjakan tugas kelompok.
Persamaan penelitian ini dengan kedua
penelitian di atas, yaitu dalam proses pembelajaran di kelas model yang
digunakan yaitu model kooperatif. Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang
pertama, yaitu variabel bebas yang lain yang berpengaruh yaitu kemampuan awal
sedangkan dalam penelitian ini yaitu motivasi belajar matematika siswa.
Perbedaan dengan penelitian yang kedua, yaitu tipe pembelajaran yang digunakan
serta matapelajaran. Dalam penelitian Yully (2008) tipe pembelajaran yang
digunakan yaitu STAD pada mata pelajaran elektronika tingkat SMK, sedangkan
dalam penelitian ini yaitu tipe TGT pada matapelajaran matematika tingkat SD.
C.
Kerangka Berfikir
Pelajaran matematika merupakan salah
satu mata pelajaran yang dianggap sulit. Penyebab sulitnya pelajaran matematika
dapat dikarenakan oleh berbagai macam factor, diantaranya matematika merupakan
suatu objek abstrak, cara mengajar guru, sajian buku yang kurang menarik maupun
motivasi siswa yang rendah.
Pembelajaran dengan Model kooperatif
tipe Teams Games Tournaments (TGT)
selama kegiatan pembelajaran siswa bekerja secara bersama-sama, sehingga
terjadi suatu interaksi baik dengan siswa, guru maupun media belajar. Selama
kegiatan belajar
berlangsung sebagian besar aktivitas yang ada di dalam
kelas dilakukan oleh siswa, guru hanya sebagai motivator dan fasilitator bagi
siswa. Sehingga konsep materi ditanamkan sendiri oleh siswa selama memecahkan
masalah yang dihadapinya. Sedangkan, pembelajaran dengan model pembelajaran
langsung adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru di sekolah. Proses
pembelajaran matematika yang berlangsung saat ini di sekolah biasanya dimulai
dari teori kemudian diberikan contoh soal dan dilanjutkan dengan latihan soal.
Didalam pembelajaran matematika di sekolah saat ini, masalah-masalah yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari hanya digunakan sebagai aplikasi dari
teori-teori yang sudah diberikan. Mengajar yang bersifat pembelajaran langsung
lebih menekankan pada penyampaian pengetahuan kepada siswa sehingga kegiatan
pembelajaran lebih berpusat pada guru. Selama kegiatan pembelajaran, guru
cenderung lebih mendominasi kegiatan pembelajaran, dan hampir tidak ada
interaksi antar siswa. Kebanyakan aktivitas siswa hanya mendengarkan dan
menulis. Hanya sedikit siswa yang mengajukan pertanyaan kepada guru.
Motivasi adalah perubahan pribadi
seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai
tujuan. Hasil yang akan diperoleh antar masing-masing individu sangat
berbeda-beda, seseorang yang memiliki motivasi tinggi maka akan lebih gigih
dalam mencapai tujuan yang diharapkan, dengan demikian hasil yang diperoleh
akan lebih baik dibanding dengan seseorang yang motivasinya sedang maupun
rendah. Demikian pula dengan orang yang memiliki motivasi sedang, maka hasil
yang diperoleh akan lebih baik daripada orang yang motivasinya rendah.
Dalam kegiatan pembelajaran dengan
model kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT), siswa mencari pemecahan
masalah dari seluruh masalah-masalah yang diberikan oleh guru dengan
memanfaatkan media belajar yang ada. Oleh karena itu diperlukan suatu kreativitas,
dan kemandirian dari siswa untuk belajar. Aktivitas yang dilakukan oleh siswa tidak seluruhnya sama. Dimungkinkan siswa yang memiliki
motivasi
belajar tinggi dan sedang akan cenderung lebih aktif
dibanding siswa yang memiliki motivasi belajar rendah. Sedangkan dengan model
pembelajaran langsung siswa melakukan segala hal dalam kegiatan pembelajaran
sesuai dengan perintah dari guru. Siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi,
sedang dan rendah melakukan kegiatan yang sama.
Dari uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Dalam
pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe Teams Games Tournaments
(TGT) guru sebagai fasilitator bagi siswa. Sedangkan dalam pembelajaran
pembelajaran langsung guru merupakan objek utama dalam pembelajaran, siswa
berkecenderungan sebagai siswa yang pasif. Dengan demikian dalam pembelajaran
dengan model kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) siswa dituntut untuk
lebih aktif dibandingkan pembelajaran pembelajaran langsung. Oleh karena itu
hasil belajar siswa dengan pembelajaran kooperatif akan lebih baik.
2. Motivasi
belajar dari diri masing-masing siswa sangat berpengaruh terhadap intensitas
siswa dalam belajar matematika. Siswa yang bermotivasi tinggi cenderung lebih
semangat belajar bila dibandingkan dengan siswa yang memiliki motivasi belajar
sedang maupun rendah. Dengan demikian, siswa yang memiliki motivasi belajar
tinggi akan memiliki hasil belajar yang lebih baik dibandingkan siswa yang
motivasi belajarnya sedang, maupun rendah.
3. Siswa
yang belajar dengan model kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) akan
menjadi lebih kreatif dan lebih cerdas dibandingkan siswa dengan pembelajaran
pembelajaran langsung. Akan tetapi motivasi belajar matematika juga berpengaruh
ketika pembelajaran berlangsung. Siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi
dan sedang akan lebih cepat beradaptasi dengan model pembelajaran yang baru,
sedangkan siswa yang memiliki motivasi belajar matematika rendah sama saja
diberikan pembelajaran dengan model seperti
apapun.
Berdasarkan paparan di atas, maka
model dalam pembelajaran motivasi belajar siswa dan serta interaksi keduanya
berpengaruh terhadap tingkat hasil belajar siswa. Bahkan dapat dimungkinkan
dengan model pembelajaran yang lama, siswa mendapatkan hasil yang lebih baik.
Kerangka
berfikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
D.
Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan
kerangka berfikir di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Siswa
yang mendapatkan pembelajaran dengan model kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT) memiliki hasil belajar matematika yang
lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model
pembelajaran langsung.
2. Siswa
yang memiliki motivasi belajar matematika tinggi memiliki hasil belajar
matematika yang lebih baik daripada siswa yang memiliki motivasi belajar
matematika sedang dan rendah,
siswa yang memiliki
motivasi belajar matematika sedang memiliki
hasil belajar matematika yang lebih baik dari pada siswa yang
memiliki motivasi belajar matematika rendah.
3. Siswa
yang memiliki motivasi tinggi dan sedang lebih baik mendapatkan pembelajaran
dengan model kooperatif tipe Teams Games
Tournaments (TGT) daripada pembelajaran langsung, sedangkan siswa yang
memiliki motivasi rendah sama saja dengan siswa yang memiliki motivasi belajar
tinggi maupun sedang.
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Tempat, Subyek,
dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini adalah Sekolah
Dasar di kecamatan Depok, dengan subyek penelitian adalah siswa kelas 2
semester ganjil tahun pelajaran 2008/ 2009.
Penelitian ini dilakukan secara
bertahap. Adapun tahap pelaksanaan penelitian sebagai berikut:
1. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan meliputi penyusunan dan pengajuan
proposal, mengajukan ijin penelitian, serta penyusunan instrumen dan perangkat
penelitian. Tahap ini dilaksanakan pada bulan Maret – Juni 2008
2.
Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini
peneliti akan melaksanakan penelitian pada bulan Juli – Oktober 2008.
3.
Tahap Penyelesaian
Pada tahap ini terdiri dari proses analisis data dan
penyusunan laporan penelitian, yang dimulai bulan Oktober 2008.
B.
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian
eksperimen semu karena peneliti tidak mungkin melakukan kontrol atau manipulasi
pada semua variabel yang relevan kecuali, beberapa variabel yang diteliti.
Menurut Budiyono (2003: 82) tujuan penelitian eksperimen semu adalah untuk
memperoleh informasi yang merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat
diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak
memungkinkan untuk mengontrol dan atau memanipulasi semua variabel yang relevan.
Pada penelitian ini eksperimen
dilakukan dengan memberikan perlakuaan dalam model pembelajaran. Pada kelompok
eksperimen diberi perlakuan khusus yaitu dalam proses pembelajaran dilakukan
dengan menerapkan model kooperatif tipe Teams
Games Tournaments (TGT), sedangkan kepada kelompok pembanding diberikan
pembelajaran secara pembelajaran langsung. Untuk variabel bebas yang lain yaitu
motivasi siswa dalam belajar matematika, variabel ini dijadikan sebagai
variabel yang ikut mempengaruhi variabel terikat. Rancangan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial 2 x 3.
Tabel 4.
Rancangan Penelitian
Model (Ai)
|
Tingkat Motivasi belajar(Bj)
|
||
Tinggi (b1)
|
Sedang (b2)
|
Rendah (b3)
|
|
Model kooperatif tipe Teams
Games
Tournaments (TGT) (a1)
|
ab11
|
ab12
|
ab13
|
Model
pembelajaran langsung (a2)
|
ab21
|
ab22
|
ab23
|
C.
Populasi, Sampel dan Sampling
Pada penelitian ini mengambil
populasi siswa kelas 2 Sekolah Dasar se Kecamatan Depok. Di Kecamatan ini
terdapat 52 sekolah dasar baik sekolah negeri maupun swasta. Pengambilan sampel
dalam penelitian ini yaitu dengan cara memilih satu Sekolah Dasar sebagai
kelompok eksperimen dan satu Sekolah Dasar sebagai kelompok kontrol.
Adapun langkah dalam pengambilan
sampel yaitu dengan stratified cluster
random sampling. Tahapan yang dilakukan dalam pengambilan sampel yaitu dari
seluruh Sekolah Dasar yang ada di kecamatan Depok terlebih dahulu dikelompokkan
menjadi tingkatan, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokkan tersebut
berdasarkan nilai rata-rata hasil ujian akhir sekolah berstandar nasional
(UASBN) mata pelajaran matematika. Dari ketiga
kelompok, masing-masing kelompok dipiih secara acak dua
sekolah yang akan dijadikan sebagai subjek penelitian. Satu sekolah sebagai
kelompok eksperimen dan satu sekolah sebagai kelompok kontrol. Sehingga
diperoleh tiga kelas kontrol dan tiga kelas eksperimen.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Variabel Penelitian
a.
Variabel Bebas
i.
Model Pembelajaran
1)
Definisi operasional: model
pembelajaran adalah suatu cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan
dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran. Terdiri dari model kooperatif
tipe Teams Games Tournaments (TGT) untuk
kelompok eksperimen dan model pembelajaran langsung untuk kelompok kontrol.
2)
Indikator: penerapan dua model pembelajaran yang
berbeda pada dua kelompok
3)
Skala pengukuran : skala nominal
4)
Symbol : ai dengan i = 1, 2
ii. Motivasi
1)
Definisi operasional: Motivasi
belajar adalah daya penggerak di dalam atau di luar diri siswa yang dapat
menimbulkan aktivitas atau kegiatan belajar, sehingga dapat mencapai tujuan
yang diinginkan.
2)
Indikator: jumlah skor dari angket motivasi belajar matematika
3)
Skala
pengukuran: skala ordinal yang terdiri dari 3 kategori yaitu kelompok tinggi
(lebih dari ), sedang (antara ) sampai ) ), dan rendah
(kurang
dari ).
4)
Symbol : bj dengan j = 1, 2, 3
b.
Variabel Terikat
a)
Definisi operasional: Hasil belajar
matematika adalah hasil yang dicapai atau yang dapat dikerjakan setelah siswa
belajar, yang diperolehnya dengan beberapa usaha yang berupa latihan maupun pengalaman.
b) Indikator: nilai
tes diakhir pembelajaran
c) Skala pengukuran
: skala interval
d) Symbol : Y
2.
Metode Pengumpulan Data
Salah satu kegiatan dalam penelitian
adalah menentukan cara mengukur variabel penelitian dan alat pengumpulan data.
Untuk mengukur variabel diperlukan instrumen penelitian dan instrumen ini berfungsi
untuk digunakan mengumpulkan data. Adapun teknik pengumpulan data pada
penelitian ini ada tiga macam, yaitu:
a. Metode Angket
Metode angket merupakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau
pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Pada penelitian ini model
angket digunakan untuk mengumpulkan data mengenai motivasi belajar siswa.
Adapun prosedur pemberian skor untuk menjawab angket yang diberikan kepada
responden yaitu untuk butir soal yang merupakan pertanyaan atau pernyataan
positif, siswa yang memberikan pernyataan setuju diberi skor 3, netral diberi
skor 2, tidak setuju diberi skor 1, dan jika tidak memberikan pernyataan diberi
skor 0. Sedangkan untuk butir soal yang negative, siswa yang memberikan
pernyataan setuju diberi skor 1, netral diberi skor 2, tidak setuju diberi skor
3, dan jika tidak memberikan pernyataan diberi skor 0. Jumlah butir angket yang
diujicobakan
sebanyak 41 butir, sedangkan yang dipergunakan untuk mengetahui
motivasi siswa sebanyak yaitu 25 butir.
b. Metode Tes
Metode tes merupakan teknik
pengumpulan data dengan cara memberikan sejumlah item pertanyaan mengenai
materi yang telah diberikan kepada subjek penelitian. Pada penelitian ini model
tes digunakan untuk mengumpulkan data mengenai hasil belajar siswa. Tes dalam
penelitian ini berbentuk tes tertulis dengan bentuk pilihan ganda yang memuat
beberapa pertanyaan soal matematika. Jika siswa menjawab benar diberi nilai 1,
dan jika salah atau tidak menjawab diberi nilai 0. Jumlah butir tes yang
diujicobakab sebanyak 35 soal, sedangkan yang dipergunakan untuk mengetahui
hasil belajar siswa yaitu sebanyak 25 butir
soal.
c. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan teknik
pengumpulan data dengan mengambil dari dokumen-dokumen yang telah ada. Dalam
penelitian ini dokumentasi digunakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa, dan
kemampuan siswa selama proses pembelajaran penelitian dilakukan. Data yang
diperoleh digunakan untuk menguji keseimbangan.
3.
Pengembangan Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini berupa Angket untuk memperoleh data tentang motivasi belajar
matematika siswa, dan Tes digunakan untu memperoleh data tentang hasil belajar
siswa. Sebelum instrumen digunakan, terlebih dahulu diadakan ujicoba. Ujicoba
instrumen digunakan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen.
Setelah dilakukan ujicoba, kemudian dilakukan analisis butir soal dan analisis
instrument tes dan angket.
a. Angket
i.
Tujuan: untuk mengetahui motivasi belajar siswa
ii.
Langkah-langkah penyusunan angket:
1)
Menjabarkan komponen – komponen motivasi belajar ke
dalam Indikator.
2)
Menyusun kisi-kisi pembuatan instrumen motivasi
belajar matematika
3)
Menjabarkan Indikator ke dalam butir angket
4)
Memberikan skor pada setiap butir
5)
Uji coba instrumen
Setelah dilakukan uji cobakan, butir yang tidak baik
tidak digunakan dalam angket ini. Untuk mengetahui baik atau tidaknya suatu
butir angket, dilakukan validitas isi, uji konsistensi internal dan uji
reliabilitas.
a) Validitas Isi
Suatu instrumen valid menurut
validitas isi apabila isi instrumen tersebut telah merupakan sampel yang
representative dari keseluruhan isi hal yang akan diukur.
Menurut Budiyono
(2003:59), untuk menilai apakah instrumen mempunyai validitas tinggi, biasanya
dilakukan melalui expert judgment. Jadi untuk melihat apakah suatu angket dapat
dikatakan valid, maka penilaian dilakukan oleh pakar. Dalam penyusunan dan
pengembangan instrumen baik angket maupun
tes, pengujian validitas suatu instrumen dalam menjalankan fungsi ukurnya
seringkali dapat dilakukan dengan melihat sejauh mana kesesuaian antara hasil
ukur instrumen tersebut dengan hasil instrumen lain yang telah teruji
kualitasnya.
Dalam hal ini para pakar
atau penilai instrumen, menilai apakah kisi-kisi yang dibuat telah menunjukkan klasifikasi kisi-kisi telah mewakili
isi yang akan
diukur. Apakah masing-masing butir yang telah tersusun cocok dengan
kisi-kisi yang telah ditentukan.
b) Uji Konsistensi Internal
Uji konsistensi internal digunakan untuk menguji apakah butir
instrumen konsisten atau tidak. Dalam penelitin ini untuk menguji konsistensi
internal butir angket tentang motivasi siswa menggunakan rumus korelasi product
moment dari Karl Pearson, sebagai berikut:
Dengan :
rxy
= indeks konsistensi internal untuk butir ke-i
n = banyaknya subjek yang dikenai tes (instrumen) X = skor untuk
butir ke-i (dari subjek uji coba)
Y = skor
total (dari subjek uji coba)
( Budiyono, 2003:65 ) Dalam
penelitian ini, untuk butir yang indeks konsistensi internalnya kurang dari 0,3
maka butir tersebut tidak dipakai
c) Uji Reliabilitas Angket
Suatu instrumen dikatakan reliable
apabila hasil pengukuran dengan alat tersebut adalah sama jika sekiranya
pengukuran tersebut dilakukan pada orang yang sama pada waktu yang berlainan
atau pada kelompok orang yang berlainan pada waktu yang sama.
Skor dalam angket adalah 0 sampai 3
maka untuk uji reliabilitas digunakan rumus alpha, sebagai berikut:
keputusan uji :
hasil item angket tersebut reliabel apabila besarnya indeks
reliabilitas yang diperoleh telah melebihi nilai 0,70.
( Budiyono, 2003: 70 ) Dalam penelitian ini, angket
dipakai jika indeks reliabilitasnya melebihi 0,7.
b. Tes
i.
Tujuan : untuk mengukur hasil belajar matematika siswa
ii.
Penyusunan tes hasil belajar
matematika siswa dilakukan oleh peneliti dengan berpedoman pada kurikulum yang
berlaku. Tes yang digunakan yaitu dalam bentuk tes pilihan ganda.
iii.
Langkah-langkah membuat tes, yaitu:
1)
Membuat kisi-kisi soal tes
2)
Menyusun soal tes
3)
Mengadakan uji coba
4)
Menganalisis hasil uji coba
iv.
Uji Validitas Isi
Untuk instrumen ini, supaya tes mempunyai validitas isi harus
diperhatikan hal-hal berikut:
1)
Tes harus dapat mengukur sampai
berapa jauh tujuan pembelajaran tercapai ditinjau dari materi yang diajarkan
2)
Penekanan materi yang akan diujikan
seimbang dengan penekanan materi yang diajarkan
3)
Materi pelajaran untuk menjawab
soal-soal ujian sudah dipelajari dan dapat dipahami oleh tester
(Budiyono, 2003:58) Untuk menilai
apakah instrumen tes mempunyai validitas isi, biasanya penilaian dilakukan oleh
pakar atau validator.
v. Daya Pembeda
Daya beda soal digunakan untuk mengetahui apakah soal tersebut sebagai instrumen mampu membedakan hasil belajar antara kelompok tinggi dan kelompok rendah. Dalam menentukan daya pembeda soal peserta tes diambil 27% sebagai kelompok tinggi, dan 27% sebagai kelompok rendah, kemudian dibandingkan respon yang benar. Untuk menghitung daya pembeda menggunakan rumus:
Dengan :
D : daya beda
Ba : 27% respon kelompok tinggi yang menjawab benar Bb : 27% respon
kelompok rendah yang menjawab benar N : jumlah kelompok pandai dan kelompok
rendah
Dalam penelitian ini soal tes dikatakan mempunyai daya pembeda yang
baik jika 0,7≥ D ≥ 0,4
(Suharsimi
Arikunto, 2002: 218)
vi.
Tingkat Kesukaran
Sebuah soal yang baik yaitu soal yang dikerjakan siswa tidak terlalu
sulit maupun terlalu mudah. Untuk menentukan tingkat kesukaran tiap-tiap butir
tes digunakan rumus:
Dengan:
P : indeks
kesukaran
B : banyak peserta tes yang member respons benar T : jumlah seluruh
peserta tes.
Dalam penelitian ini soal tes dikatakan baik atau memadai jika 0,3 ≤
P ≤ 0,7
(Suharsimi
Arikunto, 2002: 210)
vii.
Konsistensi Internal Butir Tes
Uji konsistensi internal digunakan untuk menguji apakah
instrumen konsisten atau tidak. Ini berarti bahwa harus ada korelasi positif
antara skor masing-masing butir. Oleh karena itu, konsistensi internal
masing-masing butir dilihat dari korelasi antara skor butir-butir tersebut
dengan skor totalnya. Dalam penelitian ini untuk menguji konsistensi internal
butir tes hasil belajar siswa menggunakan rumus korelasi product moment dari
Karl Pearson, sebagai berikut:
Dengan :
rxy
= indeks konsistensi internal untuk butir ke-i
n = banyaknya
subjek yang dikenai tes (instrumen)
X = skor untuk butir ke-i (dari subjek uji coba) Y = skor total
(dari subjek uji coba)
( Budiyono, 2003:65 )
Butir soal
memenuhi konsistensi internal apabila rxy ≥ 0,3.
viii.
Uji Reliabilitas
Tes
Untuk mengetahui suatu tes reliable atau tidak, sebagai
alat ukur yang menggambarkan ketepatan peserta tes dalam menjawab soal maka
reliabilitas soal harus baik. Untuk menentukan besarnya indeks reliabilitas
pada tes, digunakan formula Kuder- Richardson- 20 (KR-20), sebagai berikut:
Dengan :
r11 =
indeks reliabilitas instrumen n =
banyak butir dalam tes
st2 =
varians total skor tes
pi = proporsi subjek yang mendapat angka 1 pada suatu butir, yaitu banyaknya subjek yang mendapat angka 1 dibagi oleh
banyaknya seluruh subjek yang menjawab butir
tersebut.
qi = 1- pi
Instrumen dikatakan reliable jika besarnya indeks reliabilitas yang diperoleh
yaitu r11 > 0,70.
(Budiyono, 2003: 69 ) Dalam
penelitian ini, jika indeks reliabilitasnya kurang dari 0,70 maka butir
tersebut tidak dipakai.
E.
Teknik Analisis Data
Analisis data penelitian merupakan
langkah yang sangat penting dalam kegiatan penelitian, analisis data yang benar
dan tepat akan menghasilkan kesimpulan yang benar. Analisis data yang dilakukan
yaitu:
1. Uji Keseimbangan
Uji ini dilakukan untuk mengetahui
apakah kedua kelompok (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol) dalam keadaan
seimbang atau tidak. Statistik uji yang digunakan dalam uji keseimbangan adalah
uji-t, yaitu:
a. Hipotesis
Ho: µ1 = µ2 (kelompok mempunyai
kemampuan awal yang sama ) H1: µ1 ≠ µ2
(kelompok mempunyai kemampuan awal yang berbeda )
b. Tingkat
signifikansi: α = 0,05
c. Statistik Uji
Dengan :
t = harga statistik yang
di uji t
X 1 = rata-rata kelompok
eksperimen
X 2 = rata- rata
kelompok kontrol
n1 = jumlah anggota kelompok ekperimen n2 =
jumlah anggota kelompok kontrol
s12 = variansi kelompok eksperimen s22
= variansi kelompok kontrol
sp =
variansi gabungan
= 0 (sebab
tidak membicarakan selisih rataan)
d. Daerah Kritik
e. Keputusan Uji: Ho
ditolak jika t DK
( Budiyono, 2004: 157 )
2. Uji Prasyarat Analisis
Uji prasyarat yang dipakai daam peneitian ini adalah uji
normalitas, dan uji homogenitas.
a. Uji Normalitas
Uji ini digunakan untuk mengetahui
apakah sampel peneitian ini berasal dari popuasi yang normal atau tidak. Uji
normalitas pada penelitian ini menggunakan model liliefors dengan prosedur
sebagai berikut:
1. Hipotesis
Ho
: sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1
: sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal
2. Tingkat
Signifikansi: α = 5%
3. Statistik Uji
L = maks | F
(zi) – S(zi)|
Dengan:
L = Koefisien
lillefors dari pengamatan zi =
Skor standar
F(zi) = P(Z zi) dengan Z ~ N (0, 1)
S( zi) = Proporsi cacah z zi
terhadap seluruh zi
4. Daerah Kritik
DK = { L| L
> Lα,n } dengan n adalah ukuran sampel
5. Keputusan Uji
Ho
ditolak jika L DK
( Budiyono, 2004 : 170 )
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk
menguji apakah sampel-sampel tersebut berasal dari populasi yang homogen atau
tidak. Dalam bahasa statistik, uji ini digunakan untuk mengetahui apakah
populasi penelitian mempunyai variansi yang sama atau tidak.
Dalam penelitian ini uji homogenitas
yang digunakan adalah uji Bartlet dengan prosdur sebagai berikut:
1. Hipotesis
|
|
Ho : 2 = 2 =….=
(Populasi yang homogen)
H1 :
ada dua variansi yang tidak sama (Populasi yang tidak homogen)
2. Tingkat
Signifikansi: α = 5%
Keterangan:
k = banyaknya
sampel, k = 2, 3
f = derajat
kebebasan untuk RKG = N-k
f j
derajat kebebasan untuk sj2 = nj -1 ; j = 1,
2, ..., k
N = banyaknya
seluruh nilai ( ukuran )
nj
= banyaknya nilai (ukuran ) sampel ke – j = ukuran sampel ke – j
5. Keputusan Uji
Ho
ditolak jika harga statistik 2 , yakni 2 hitung > 2 α,k-1. berarti variansi dari
populasi tidak homogen. (Budiyono:
2004: 176)
3. Uji Hipotesis Penelitian
Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan analisis
variansi dua jalan sel tak sama dengan model sebagai berikut:
X ijk i j ij ijk
Dengan :
Xijk = data
amatan ke-k pada baris ke – i dan kolom ke –
j
µ = rerata dari
seluruh data amatan (rerata besar, grand mean)
αi = efek
baris ke-i pada variabel terikat, dengan i= 1,
2
βj = efek
kolom ke-j pada variabel terikat, dengan j = 1, 2, 3
αβij =
kombinasi efek baris ke-i dan kolom ke-j pada variabel terikat
εijk = deviasi amatan
terhadap rataan populasinya (µij) yang berdistribusi normal dengan
rataan 0, deviasi amatan terhadap rataan populasi juga disebut error (galat)
i= 1, 2 yaitu 1 = pembelajaran
dengan model kooperatif tipe Teams Games
Tournaments (TGT)
2 = pembelajaran dengan model pembelajaran langsung j =
1, 2, 3 yaitu 1 = motivasi belajar tinggi
2 = motivasi belajar sedang 3 = motivasi belajar rendah
(Budiyono,
2004: 225)
Prosedur dalam
pengujian menggunakan analisis variansi dua jalan, yaitu
i.
Hipotesis
a)
H0A: αi = 0 untuk
i = 1, 2 (tidak
ada perbedaan efek antar baris
terhadap variabel terikat )
H1A:
αi ≠ 0 paling sedikit ada satu harga i (ada perbedaan efek antar
baris
terhadap
variabel terikat )
b) H0B: αj = 0 untuk
j = 1, 2, 3 (tidak ada perbedaan efek antar kolom terhadap
variabel terikat )
H1B:
αj ≠ 0 paling sedikit ada satu harga j (ada perbedaan efek antar
kolom
terhadap
variabel terikat )
c)
H0AB: αβij = 0 untuk semua pasang (ij) dengan
i = 1, 2 dan j = 1, 2,3
(tidak ada interaksi baris dan antar kolom terhadap variabel terikat) H1AB:
paling sedikit ada satu pasang (ij)
(ada
interaksi baris dan antar kolom terhadap variabel terikat )
ii. Komputasi
a) Notasi dan Tata letak
Bentuk table
analisis variansi berupa bentuk baris dan kolom. Adapun bentuk tabelnya sebagai
berikut:
B
A
|
Motivasi siswa
|
|||
Tinggi
(b1)
|
Sedang
(b2)
|
Rendah
(b3)
|
||
Model pembelajaran
|
Kooperatif (a1)
|
n11
X11k k
X 11
X 11k
2
k
C11
SS11
|
n12
X12k k
X 12
X 12k
2
k
C12
SS12
|
n13
X13k k
X 13
X 13k
2
k
C13 SS13
|
Pembelajaran
langsung
(a2)
|
n21
X 22k k
X 21
X 221k k
C21 SS21
|
n22
X 22k k
X 22
X 222k k
C22
SS22
|
n23
X 23k k
X 23
X 223k k
C23
SS23
|
Dengan:
A = model pembelajaran
B = motivasi belajar
A1 =
pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe Teams Games Tournaments (TGT)
A2 =
pembelajaran matematika dengan model pembelajaran langsung B1 = motivasi belajar tinggi
B2 = motivasi
belajar sedang B3 =
motivasi belajar rendah
ABij = hasil tes hasil belajar siswa menggunakan pembelajaran
matematika dengan model i dengan motivasi j
i = 1, 2
j = 1, 2, 3
Pada analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama ini
didefinisikan notasi-notasi sebagai berikut:
nij =
banyaknya data amatan pada sel ij
b) Komponen Jumlah Kuadrat
Didefinisikan
besar-besaran (1), (2), (3), (4), dan (5) sebagai berikut:
Selanjutnya
didefinisikan beberapa jumlah kuadrat yaitu:
JKA = nh{ (3) (1) }
JKB = nh{ (4) (1) }
JKAB
= nh{ (1) + (5) (3)
(4) }
JKG = (2)
JKT = JKA + JKB + JKAB + JKG
c) Derajat Kebebasan (dk)
Derajat kebebasan untuk masing-masing jumlah kuadrat tersebut
adalah: dkA = p 1
dkB = q 1
dkAB = ( p 1 ) ( q 1 ) dkT =
N 1
dkG = N pq
d) Rataan Kuadrat (RK)
Berdasarkan jumlah kuadrat dan derajat kebebasan masing-masing,
diperoleh rataan kuadrat berikut:
iii. Statistik Uji
a) Untuk H0A
adalah Fa =
RKA yang
merupakan nilai dari variabel random yang
RKG
berdistribusi F dengan derajat kebebasan p – 1 dan N – pq;
b) Untuk H0B adalah
Fb = RKB yang merupakan
nilai dari variabel random yang
RKG
berdistribusi F dengan derajat kebebasan q – 1 dan N – pq;
c) Untuk H0AB adalah Fab = RKAB yang merupakan
nilai dari variabel
random
RKG
yang berdistribusi F dengan derajat kebebasan (p – 1) (q – 1) dan N
– pq.
iv. Daerah Kritik
Untuk
masing-masing nilai F, daerah kritiknya sebagai berikut:
a) Untuk Fa adalah DK = { Fa | Fa > Fα;p-1;N-pq }
b) Untuk Fb adalah DK = { Fb | Fb > Fα;q-1;N-pq }
c) Untuk Fab adalah DK = { Fab | Fab
>
Fα;(p-1)(q-1);N-pq }
v.
Rangkuman Analisis Variansi Dua
Jalan Tabel.Rangkuman Analisis Variansi Dua
Jalan
Sumber
|
JK
|
Dk
|
RK
|
Fobs
|
F
|
Baris (A)
Kolom(B) Interaksi (AB) Galat
|
JKA JKB JKAB JKG
|
p-1
q-1
(p-1)(q-1)
N-pq
|
RKA RKB RKAB RKG
|
Fa Fb Fab
-
|
F * F * F *
-
|
Total
|
JKT
|
N-1
|
-
|
-
|
-
|
Keterangan: F * adalah nilai F yang
diperoleh dari tabel
vi. Keputusan Uji:
a) H0A
ditolak jika Fa DK
b) H0B
ditolak jika Fb DK
c) H0AB
ditolak jika Fab DK (Budiyono,2004:213)
4. Uji Komparasi
Ganda dengan Metode Scheffe
Metode scheffe digunakan sebagai tindak lanjut dari
analisis variansi dua jalan. Untuk mengetahui perbedaan rerata setiap pasangan
baris, kolom, dan sel diadakan uji komparasi ganda dengan menggunakan model
scheffe.
Langkah-langkah dalam menggunakan metode ini adalah:
a.
Mengidentifikasi semua pasangan komparasi rerata
b.
Merumuskan hipotesis yang bersesuaian dengan
komparasi tersebut.
c.
Menentukan tingkat
signifikansi
d.
Mencari harga statistik uji F dengan rumus sebagai berikut:
i.
Komparasi Rataan antar Kolom
Uji Scheffe
untuk komparasi rataan antar kolom adalah:
Dengan:
F.i-.j
= nilai Fobs pada pembandingan kolom ke-i dan kolom ke-j
X.i = rataan pada kolom ke-i
X.j = rataan pada kolom ke-j
RKG = rataan
kuadrat galat, yang diperoleh dari perhitungan analisis variansi
n.i = ukuran sampel
kolom ke-i
n.j = ukuran sampel
kolom ke-j
ii. Komparasi Rataan
antar Sel pada Kolom yang Sama
Uji Scheffe
untuk komparasi antar sel pada baris yang sama adalah:
Dengan:
Fij-kj
= nilai Fobs pada pembandingan rataan pada sel ij dan rataan pada
sel kj
Xij = rataan pada sel ij
Xkj = rataan pada se kj
RKG = rataan kuadrat galat,
yang diperoleh dari perhitungan analisis variansi nij = ukuran sel ij
nkj = ukuran
sel kj
iii.
Komparasi Rataan antar Sel pada Baris yang Sama
Uji Scheffe
untuk komparasi rataan antar sel pada baris yang sama adalah:
Dengan:
Fij-kj
= nilai Fobs pada pembandingan rataan pada sel ij dan rataan pada
sel kj
Xij = rataan pada sel ij
Xkj = rataan pada se kj
RKG = rataan kuadrat galat,
yang diperoleh dari perhitungan analisis variansi nij = ukuran sel ij
nkj = ukuran
sel kj
e.
Menentukan Daerah Kritik (DK)
Dengan daerah kristik :
DK = { F | F > (q-1) Fα;q-1,N-pq }
DK = { F | F > (pq-1) Fα;pq-1,N-pq }
DK = {F | F > (pq-1) Fα;pq-1,N-pq}
f. Menentukan
keputusan uji untuk masing- masing komparasi
ganda.
g.
Menentukan kesimpulan dari keputusan uji yang ada.
(Budiyono, 2004: 213)
Sumber : https://fitriakha.files.wordpress.com/2011/03/contoh-proposal-usulan-penelitian-kuantitatif.pdf
·
Jadi
kesimpulan dari contoh diatas TKB milik kelompok kami adalah kualitatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar